KITA HEBAT – Berikan 3 contoh bentuk konvensi ketatanegaraan yang saat masih menyulitkan banyak sahabat.
Konvensi ketatanegaraan, sebagai sebuah fenomena sosio-historis, muncul sebagai langkah konkret untuk menyempurnakan sistem yang pada awalnya bersifat otonom dan mutlak di bawah kekuasaan absolut seorang raja.
Sebelum Kita Hebat menjawab soal berikan 3 contoh bentuk konvensi ketatanegaraan, mari kita bahas terlebih dulu pengertian Konvensi Ketatanegaraan menurut para ahli berikut ini.
Pengertian Konvensi Ketatanegaraan Menurut Para Ahli
Setelah memahami konsep konvensi secara umum, kita selanjutnya akan membahas pengertian konvensi menurut para ahli.
Berikut ini adalah pandangan beberapa ahli mengenai konvensi:
Endra Yuda
Menurut Endra Yuda, konvensi adalah suatu aturan dasar yang dapat muncul dan terjaga dalam praktik penyelenggaraan negara, namun sifat dari aturan dasar ini bersifat tidak tertulis.
Sukma Yudha
Sukma Yudha menjelaskan bahwa konvensi merupakan kumpulan norma yang diterima oleh masyarakat dan pemerintah secara umum.
Penjelasan di atas merupakan pemahaman para ahli mengenai konvensi. Sementara itu, dalam buku “Dasar-dasar Ilmu Politik” yang dikarang oleh Miriam Budiarjo, konvensi dijelaskan sebagai aturan perilaku kenegaraan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan bergantung pada kebiasaan ketatanegaraan.
Konvensi juga dapat ditemukan dalam sistem Undang-Undang Dasar dan dapat dijadikan sebagai panduan apabila aturan formal tidak jelas atau tidak memadai.
Dengan demikian, keberadaan konvensi memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan dalam hukum yang terkodifikasi.
Selain itu, konvensi juga dapat berasal dari putusan hakim. Keberadaan konvensi memungkinkan Undang-Undang Dasar untuk beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Sejarah Perkembangan Konvensi Ketatanegaraan secara Singkat
Perkembangan konvensi ketatanegaraan tidak bisa dilepaskan dari Magna Carta (1215), dokumen historis yang menjadi landasan pertama pembatasan kekuasaan raja atau ratu.
Dari sini, evolusi sistem pemerintahan mengarah pada supremasi parlemen dan munculnya sistem pemerintahan parlementer.
Dalam perjalanan waktu, kekuasaan raja atau ratu secara bertahap beralih sepenuhnya ke parlemen dan kabinet.
Kabinet tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan, tetapi juga memegang tanggung jawab atas jalannya pemerintahan.
Pergeseran ini, meskipun signifikan, tidak menghapus sepenuhnya kekuasaan raja atau ratu. Konvensi hadir sebagai mekanisme penyelenggaraan yang mengatur hubungan antara prerogatif dan discretionary powers.
Hak prerogatif dijalankan melalui kebebasan bertindak discretionary powers.
Karakteristik Konvensi Ketatanegaraan
Karakteristik utama konvensi ketatanegaraan adalah keberadaannya sebagai norma tidak tertulis yang harus memenuhi syarat-syarat yang terdefinisi dengan jelas. Proses pembentukan konvensi melibatkan:
- Preseden yang Berulang: Terbentuknya konvensi melibatkan preseden yang muncul secara berkala.
- Sebab yang Dapat Dimengerti: Preseden timbul karena adanya sebab yang secara umum dapat dimengerti atau diterima.
- Kondisi Politik yang Ada: Preseden muncul sebagai respons terhadap kondisi politik yang ada pada saat itu.
9 Contoh Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia
Sebelum dan sesudah era reformasi di Indonesia, beberapa contoh konvensi ketatanegaraan melibatkan praktik-praktik seperti:
- Upacara Bendera Setiap Tanggal 17 Agustus
- Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus
- Pemilihan Menteri oleh Presiden
- Pelaksanaan Program 100 Hari Kerja
- Penunjukan Menteri Non Departemen
- Penjelasan Presiden RI tentang RAPBN Kepada DPR
- Proses Pengambilan Keputusan oleh MPR
- Penyelenggaraan Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor Pemerintahan
- Keputusan terkait Grasi, Amnesti, Abolisi, atau Rehabilitasi
Semua praktik ketatanegaraan tersebut tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan, dan mengacu pada prinsip legalitas.
Pelanggaran terhadap praktik ini tidak mengakibatkan konsekuensi hukum yang signifikan.
Konvensi ketatanegaraan menjadi landasan bagi tradisi ini, menunjukkan bahwa aspek-aspek tertentu dari sistem pemerintahan tidak selalu harus diatur secara eksplisit oleh hukum.