KITA HEBAT – Sebelum menjawab soal jelaskan tentang dua jenis hiwalah mari kita pahami terlebih dulu apa itu hiwalah ? Mengutip pada buku “Akad Tabarruโ & Tijarah dalam Tinjauan Fiqih Muamalah” yang ditulis oleh Betti Anggraini dkk.
Hiwalah adalah pengalihan utang dari individu yang berutang kepada pihak lain yang bertanggung jawab atas utang tersebut.
Para ulama juga memberikan definisi hiwalah sebagai tindakan pemindahan beban utang dari muhil (pihak yang berutang) kepada muhal alaih atau pihak yang berkewajiban membayar utang.
Proses pelaksanaan hiwalah diatur oleh dalil yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, yang mencatatkan sabda Nabi SAW, “Penangguhan yang dilakukan oleh orang kaya adalah perbuatan aniaya, dan apabila seseorang di antara kalian dipindahkan piutangnya kepada orang yang kaya, maka hendaklah ia menerima (setuju).” (Riwayat Hamsah)
Berdasarkan hadits tersebut, jika seseorang yang berutang memutuskan untuk memindahkan utangnya kepada pihak yang lebih mampu, maka dia seharusnya bersedia menerima hiwalah (pemindahan hak) tersebut dan menagihnya kepada pihak yang di-hiwalah-kan.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa hiwalah dapat diterapkan pada utang yang tidak berbentuk barang atau benda.
Oleh karena itu, hiwalah sebaiknya dilakukan dalam bentuk uang atau kewajiban finansial.
Dua Jenis Hiwalah
Jenis-jenis hiwalah pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu hiwalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) dan hiwalah mutlaqah (pemindahan mutlak).
1. Hiwalah Muqayyadah
Hiwalah ini disebut muqayyadah jika muhil (pihak yang berutang) sekaligus memiliki utang kepada muhal alaih (pihak yang menerima utang).
Dengan kata lain, hiwalah muqayyadah merupakan proses pengalihan hak sebagai ganti dari pembayaran utang muhil kepada muhal.
Sebagai contoh, A memberi piutang kepada B sebesar 3 juta, sedangkan B memberi piutang kepada C sebesar 3 juta.
Selanjutnya, B mengalihkan haknya untuk menagih piutang yang dimiliki oleh C kepada A sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.
2. Hiwalah Mutlaqah
Hiwalah mutlaqah terjadi ketika muhil berutang, tetapi tidak memiliki utang kepada muhal alaih.
Artinya, pengalihan utang ini tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang muhil kepada muhal.
Sebagai contoh, A berutang kepada B sebesar 3 juta. Kemudian, A mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada B tanpa menyebutkan pemindahan utang sebagai ganti rugi dari pembayaran utang C kepada A.
Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi sebelum terlaksananya akad hiwalah.
Jika salah satu dari rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat dilaksanakan.
Berikut adalah rukun-rukun hiwalah:
1. Muhil
Rukun pertama adalah muhil, yaitu orang yang memiliki hutang. Muhil harus memiliki akal sehat, sudah baligh, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan akad hiwalah.
Selain itu, pemilik hutang atau muhil harus menjalankan akad ini atas keinginan pribadi tanpa adanya paksaan dari pihak lain.
2. Muhal
Muhal adalah orang yang memberikan hutang atau pihak yang memiliki piutang.
Seperti muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, memiliki akal sehat, dan melaksanakan akad ini secara sukarela tanpa adanya paksaan.
Ijab qabul hiwalah yang diucapkan oleh muhal harus terjadi dalam majelis akad yang disaksikan oleh pihak terkait, dan dilakukan dengan kesadaran tanpa adanya paksaan.
3. Muhalโalaih
Rukun hiwalah ketiga adalah muhalโalaih, yaitu orang yang menjadi pemilik hutang dan bertanggung jawab untuk melunasi hutang pihak muhil.
Pihak ini harus memiliki akal sehat, sudah baligh, memiliki kemampuan finansial, memahami pelaksanaan akad, dan mengucapkan ijab qabul dalam majelis akad dengan kehadiran peserta terkait.
4. Hutang yang Diakadkan
Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang dilakukan oleh muhil dari muhal, dan dijanjikan akan dilunasi oleh muhalโalaih.
Hutang tersebut dapat berupa uang, aset, atau benda berharga lainnya.
Namun, sesuai dengan hukum syariah, hutang tidak boleh berbentuk barang setengah jadi atau belum memiliki nilai (contohnya bibit tanaman yang belum berbuah, janji bantuan hibah yang belum diterima, dll.).
Selain rukun hiwalah, terdapat juga syarat-syarat hiwalah yang harus dipenuhi, antara lain:
- Pihak berhutang atau muhil harus rela melaksanakan akad ini.
- Produk hutang harus dibayarkan sesuai dengan haknya, baik itu jenis, jumlah, waktu pelunasan, maupun kualitasnya. Sebagai contoh, jika hutang berupa emas, pelunasannya harus dalam bentuk emas dengan nilai setara.
- Pihak muhalโalaih harus bertanggung jawab atas hutang setelah adanya kesepakatan dengan muhil.
- Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad hiwalah.
- Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.
- Menurut Mazhab Syafi’i, kedua hutang harus sama pada waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka akad hiwalah tidak sah.
Dengan demikian, pemahaman tentang hiwalah muqayyadah dan hiwalah mutlaqah menjadi penting dalam konteks pelaksanaan dan implikasi hukum dari proses pengalihan utang dalam transaksi keuangan.
Semoga penjelasan tentang jelaskan tentang dua jenis hiwalah diatas bermanfaat.
Terimakasih.